Kesultanan Cirebon
assalamualaikum Wr.Wb kali ini saya akan mempostingkan tentang kerajaan islam yang ada di jawa. baiklah langsung saja kita mulai dari dari kerajaan
Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah
kesultanan Islam
ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan
pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau.
Lokasinya di pantai utara
pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara
Jawa Tengah dan
Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan
Jawa dan
Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi
kebudayaan Jawa maupun
kebudayaan Sunda.
Kesultanan Cirebon didirikan di dalem agung pakungwati sebagai pusat
pemerintahan negara islam kesultanan cirebon. letak dalem agung
pakungwati sekarang menjadi
keraton kasepuhan cirebon.
Sejarah
Menurut
Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah
Babad Tanah Sunda dan
Atja pada naskah
Carita Purwaka Caruban Nagari,
Cirebon
pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng
Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan
diberi nama
Caruban (
Bahasa Sunda:
campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam
suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang
berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat
adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan
rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis,
dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (
belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan
cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi
Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari
pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah
satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan
pelayaran dan perdagangan di kepulauan
Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Perkembangan awal
Ki Gedeng Tapa
Ki
Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati)
adalah seorang Mangkubumi dari Kerajaan Sing Apura (Kerajaan ini
ditugasi mengatur pelabuhan Muarajati, Cirebon setelah tidak adanya
penerus tahta di kerajaan tetangganya yaitu Surantaka setelah anak
perempuan penguasanya yaitu
Nyi Ambet Kasih menikah dengan Jayadewata (prabu Silih Wangi) ).
Pada masa kedatangan pangeran Walangsungsang dan
nyimas Rara Santang ke Cirebon untuk memperdalam agama
Islam, pangeran Walangsungsang kemudian membangun sebuah tempat tinggal yang disebut
Gedong Witana pada tahun 1428 Masehi. yang sekarang menjadi bagian dari kompleks
keraton Kanoman,
kesultanan Kanoman, setelah mendapatkan pengajaran agama yang cukup, pangeran Walangsungsang dan
nyimas Rara Santang kemudian menunaikan ibadah
haji ke
Mekah, disana
nyimas Rara Santang menemukan jodohnya yaitu seorang pembesar Arab dan menikah sehingga
nyimas tidak ikut kembali ke
Cirebon. Sepulangnya dari melaksanakan
haji
pangeran Walangsungsang diminta oleh gurunya untuk membuka lahan guna
membuat perkampungan baru sebagai cikal-bakal negeri yang ia
cita-citakan, setelah memilih dari beberapa tempat akhirnya diputuskan
perkampungan baru tersebut akan dibangun di wilayah Kebon Pesisir.
Ki Gedeng Alang-Alang
Menurut
sejarah lisan dan sebagian babad mengenai masalah ini, dikatakan bahwa
Pengeran Walangsungsang diperintahkan oleh gurunya Syekh Datuk Kahfi
(Nur Jati) untuk membuka lahan di wilayah Kebon Pesisir, namun dikatakan
bahwa di Kebon Pesisir tidak sepenuhnya kosong karena sudah ada
sepasang suami istri yaitu Ki Danusela dan istrinya yang tinggal disana,
akhirnya sebagai bentuk penghormatan maka
Kuwu (Kepala Desa)
Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki
Danusela dengan gelar Ki Gedeng Alang-alang, sebagai Pangraksabumi atau
wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi
dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah
puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat,
Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi
penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Pendirian
Pangeran Cakrabuana dan Dalem Agung Pakungwati (1430- 1479)
Pangeran
Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga
Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang pertamanya bernama
Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang, ia mempunyai
dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian
Santang.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai
putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia
memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara
saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda
Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya
digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu
Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.
Pangeran Walangsungsang lalu membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir, membangun
Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi) mendirikan
Dalem Agung Pakungwati serta dan membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M
. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan
Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran
Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji
Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah
dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada
penduduk Cirebon.
Pendirian kesultanan ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan
Kesultanan Demak.
Pangeran Walangsungsang wafat pada tahun 1529 m
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Lukisan Sunan Gunung Jati
Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di
kabupaten Tuban,
Jawa Timur untuk mencari pengganti
Sunan Ampel sebagai pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (
Sunan Gunung Jati), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke gunung Sembung,
kecamatan Gunung Jati,
kabupaten Cirebon,
propinsi Jawa Barat. Pusat kegiatan keagaamaan ini kemudian disebut sebagai
Puser Bumi (bahasa Indonesia : pusatnya dunia)
Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa
Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak dari pernikahan
Nyai Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari
Mesir) yang sebelumnya menikahi
Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan
Nyai Indang Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan
Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai
Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Syarif Hidayatullah melalui lembaga
Wali Sanga selalu mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu
Silih Wangi) agar berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya
Nyai Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang
muslim jauh sebelum menikah dengan prabu
Silih Wangi,
namun hal tersebut tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada saat
kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu kembali ditangan
prabu
Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam naskah
Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.
“ |
Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala.
(bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah)
|
” |
Pada tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April
1482 masehi, akhirnya Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang
ditujukan kepada prabu
Silih Wangi selaku Raja Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti. Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para pembesar di wilayah Cirebon (
bahasa Cirebon :
gegeden).
Untuk memperkuat hubungan dengan
kesultanan Demak dilakukan dengan pernikahan putra putri kedua kesultanan.
- Pangeran Maulana Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana.
- Pangeran Jayakelana dengan Ratu Ayu Pembayun
- Pangeran Bratakelana dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan)
- Ratu Ayu dengan Yunus Abdul Kadir (Pangeran Sabrang Lor) menikah pada 1511 yang menjadi Sultan Demak kedua pada 1518 .
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai leluhur dari dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan
kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti
Majalengka,
Kuningan,
Kawali (Galuh),
Sunda Kelapa, dan
Banten.
Syiar Islam ke Kuningan dan berkuasanya Pangeran Kuningan
Syiar Islam ke wilayah Kuningan telah dilakukan dengan cara yang persuasif, di wilayah
Luragung Islam sudah terbangun dengan baik pada tahun 1481 m, dengan penguasanya
Ki gede Luragung, pada 1 September 1488,
Sunan Gunung Jati menjadikan putera
Ki gede Luragung (anak angkat
Sunan Gunung Jati) yang bernama Pangeran Kuningan atau yang oleh masyarakat kuningan dikenal dengan nama
Sangkuku diangkat sebagai
Depati (bahasa Indonesia : gubernur) Kuningan.
Datangnya Gamelan Suka Hati dari kerajaan Demak
Pangeran
Sulaeman Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon menjelaskan
bahwa setelah wafatnya Pangeran Sebrang Lor (Sultan Demak kedua) pada
tahun
1521 pada penyerangan ke Melaka yang dikuasi Portugis,
Ratu Ayu, putri Sunan Jati (Sultan Cirebon kedua) dan istri dari
Pangeran Sebrang Lor (Sultan Demak kedua) kemudian membawa gamelan
dakwah yang disebut "Sukahati" (bahasa Indonesia : kebahagian karena
ikhlas) ke wilayah
Cirebon dari
Demak sebagai benda untuk mengenang mendiang suaminya. Budayawan Cirebon meyakini bahwa
Gong Sukahati (bahasa Indonesia : gong Sekati) merupakan alat musik gamelan dakwah pertama yang dibawa masuk ke Cirebon dari Demak. Sementara Cirebon sudah memiliki gamelan dakwahnya sendiri disaat yang sama, dalam
bahasa Cirebon orang-orang yang sedang terlibat dalam pagelaran gong
Suka Hati disebut
Sukaten atau
Sekaten dari tata bahasa Cirebon
Suka hati + akhiran -an (yang berarti orang yang melaksanakan kata benda) sehingga
Suka(h)at(ia)n menjadi
Sukaten (huruf "h" tidak dibaca dan "i" bertemu "a" menjadi "e") atau sering masyarakat luar Cirebon mengatakan
Sekaten, hingga sekarang kesenian
Gong Sekati Cirebon masih sering diperdengarkan di keraton-keraton Cirebon.
Syiar Islam ke Banten dan pendirian kesultanan Banten
Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (
Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai
Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti
jihad
(perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun
juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik
hati masyarakat
Wahanten dan
pucuk umum (penguasa)
Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah
Wahanten terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi
pucuk umum (penguasa) untuk wilayah
Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi
pucuk umum untuk wilayah
Wahanten Girang.
Di wilayah
Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan
Nyai Kawung anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian
menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477
m) dan Pangeran
Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin : nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 m. Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.
Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk
menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479
setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban yang menghasilkan
keputusan menjadikan
Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.
Latar belakang penguasaan Banten
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir)dengan Ratu Ayu (putri
Sunan Gunung Jati)
terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut,
Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon, kelak
Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan Demak pada 1518.
Persekutuan
kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak ini sangat mencemaskan Jaya dewata (
Siliwangi)
di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa
menghubungi Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang
ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan
Samudera Pasai.
Pada tahun 1513 m,
Tome Pires pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan
Banten
Syarif Hidayatullah mengajak putranya
Maulana Hasanuddin untuk berangkat ke
Mekah, sekembalinya dari
Mekah Syarif Hidayatullah dan puteranya yaitu
Maulana Hasanuddin
kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan, ramah serta suka membantu
masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari mereka memeluk dan
taat menjalankan agama Islam, dari aktifitas dakwah ini di wilayah
Banten, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama
Syekh Nurullah (Syekh yang membawa cahaya Allah swt), aktifitas dakwah kemudian dilanjutkan oleh
Maulana Hasanuddin hingga ke pedalaman
Wahanten seperti gunung Pulosari di
kabupaten Pandeglang dimana ia pernah tinggal selama sekitar 10 tahun untuk berdakwah kepada para
ajar (pendeta), gunung Karang, gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan
dengan pola syiar yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan ayahnya.
Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu
Siliwangi) mulai membatasi pedagang muslim yang akan singah di pelabuhan-pelabuhan
kerajaan Sunda
hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Islam yang akan diterima
oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak perdagangan dengan
para pedagang muslim, namun upaya tersebut kurang mendatangkan hasil
yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat
dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan pengaruh
Islam mulai memasuki daerah pedalaman
kerajaan Sunda. Pada tahun itu juga
kerajaan Sunda berusaha mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang memiliki kepentingan yang sama dengan
kerajaan Sunda, Jaya dewata (
Siliwangi) memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi kekuatan pasukan
kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon.
Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya dewata (
Siliwangi) mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu
Samiam (Surawisesa), mereka berusaha meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan antara
kerajaan Sunda dan
Portugis.
Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan
perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik
kerajaan Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila kerajaan Sunda diserang oleh
kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng.
Pada tahun 1522 Gubernur
Alfonso d'Albuquerque
yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri
undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai
Raja Samiam) untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif
Pada tanggal
21 Agustus 1522
dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan
membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di
Sunda Kelapa
dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang
diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang
Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu
peringatan atau
padraõ (dibaca : Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu.
Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat
Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat
Mundinglaya Dikusumah, dari pihak
kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh
Padam Tumungo (yang terhormat Tumenggung),
Samgydepaty (Sang Depati),
e outre Benegar (dan bendahara)
e easy o xabandar (dan Syahbandar) Syahbandar
Sunda Kelapa yang menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim
Betawi, dia menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.
Pada tahun 1522,
Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama keraton
Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar,
masjid agung serta masjid di kawasan Pacitan.Sementara yang menjadi
pucuk umum (penguasa) di
Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman dari
Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 m. Arya Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan
Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 m.
Pada tahun 1524 m,
Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak mendarat di pelabuhan
Banten Pada masa ini tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa
Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan pasukan gabungan
Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut
Wahanten Girang
Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan
kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak mencapai
Wahanten Girang,
Ki Jongjo (seorang kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada
Maulana Hasanuddin
Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan bahwa
pucuk umum (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan banyaknya aktifitas dakwah
Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman
Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan
Wahanten Girang, sehingga
pucuk umum Arya Suranggana meminta
Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktifitas dakwahnya dan menantangnya
sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika
sabung ayam dimenangkan Arya Suranggana maka
Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktifitas dakwahnya.
Sabung Ayam pun dimenangkan oleh
Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan aktifitas dakwahnya Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.
Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai
pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di
penghujung abad ke-17.
Atas petunjuk ayahnya yaitu
Sunan Gunung Jati,
Maulana Hasanuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahan
Wahanten Girang ke pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun kota pesisir
Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526. Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya
pucuk umum (penguasa)
Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan kekuasannya atas wilayah
Wahanten Pasisir kepada
Sunan Gunung Jati, akhirnya kedua wilayah
Wahanten Girang dan
Wahanten Pasisir disatukan menjadi
Wahanten yang kemudian disebut sebagai
Banten dengan status sebagai
kadipaten dari
kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 m), kemudian
Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah
Banten diserahkan kepada
Maulana Hasanuddin, dari kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa
Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di Banten meskipun demikian
Sunan Gunung Jati tidak mentasbihkan dirinya menjadi penguasa (sultan) di BantenAlasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa
Sunan Gunung Jatilah yang menjadi pendiri
Banten dan bukannya
Maulana Hasanuddin.
menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak
Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam,
Banten lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.
Pada tahun 1552,
Maulana Hasanuddin diangkat menjadi sultan di wilayah Banten oleh ayahnya Syarif Hidayatullah (
Sunan Gunung Jati)
Dikuasainya Sunda Kelapa pada 1527
Laporan
Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur sepanjang satu atau
dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di
kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang
terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya
memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki
kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh
orang-orang
Melayu,
Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah
yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal
Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000
ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa
barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan
lanchara, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.
Lalu pada tahun 1522 Gubernur
Alfonso d'Albuquerque
yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri
undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai
Raja Samiam) untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.
Pada masa ini nama Fatahilah (Fadilah Khan) yang dipercaya sebagian
masyarakat Cirebon berasal dari Passai sudah dikenal dibeberapa kalangan
masyarakat Demak dan Cirebon setelah sebelumnya hidupnya berpindah
pindah dari Passai ke Melaka sebelum datang ke Cirebon akibat kedua
tempat tersebut dikuasai oleh Portugis, Fatahilah dikenal dikarenakan
dia turut membantu dalam hal syiar Islam, di Cirebon setelah
meninggalnya Sultan Demak Pangeran Sebrang Lor ia kemudian menikahi
mantan Istri pangeran Sebrang Lor yaitu Ratu Ayu yang merupakan anak
dari
Sunan Gunung Jati dan setelah Pangeran Jayakelana dari Cirebon meninggal, ia pun kemudian menikahi mantan istrinya yang berasal dari
kesultanan Demak yaitu Ratu Ayu Pembayun, hal ini membuat Fatahilah menjadi menantu
Sunan Gunung Jati dan kesultanan Demak
Pada tanggal
21 Agustus 1522
dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan
membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di
Sunda Kelapa
dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang
diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang
Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu
peringatan atau
padraõ (dibaca : Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu.
Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat
Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat
Mundinglaya Dikusumah, dari pihak
kerajaan Sunda
perjanjian ditandatangani oleh Syahbandar Sunda Kelapa yang bernama Wak
Item dari kalangan muslim Betawi dengan membubuhkan huruf Wau dengan
Khot.
Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat
(Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Fatahilah kemudian mengungkapkan rencananya untuk menyerang Portugis
di Sunda Kelapa, rencana Fatahilah mendapatkan dukungan dari
kesultanan Demak, Sultan Trenggana yang melihat kedekatan
kerajaan Sunda dengan
Portugis sebagai ancaman kemudian juga turut merencanakan serangan ke Sunda Kelapa
Penyerangan ke Sunda Kelapa kemudian dilakukan dengan gabungan prajurit kesultanan Cirebon,
kesultanan Demak dan
kesultanan Banten (pada saat itu
Banten masih menjadi
kadepaten
dibawah kesultanan Cirebon) yang baru saja berdiri pada tahun 1526
hasil penyerangan prajurit Cirebon dan Demak dibawah pimpinan
Maulana Hasanuddin putera
Sunan Gunung Jatiatas wilayah Banten Girang, setelah sebelumnya Fatahilah meminta saudara iparnya yaitu Sultan Banten pertama
Maulana Hasanuddin agar tidak menyerang Sunda Kelapa sendirian.
Pada saat menyerang Sunda Kelapa di tahun 1527, menurut sejarahwan dan budayawan
Betawi
Ridwan Saidi, pasukan Fatahilah hanya menghadapi Syahbandar Sunda
Kelapa yaitu Wak Item dan dua puluh anggotanya, Wak Item tewas dan
tubuhnya ditenggelamkan di laut, kemudian Fatahilah membumihanguskan
perkampungan yang ada disana termasuk perkampungan yang didiami tiga
ribu orang muslim Betawi. yang pemukimannya berada di wilayah Mandi Racan, sekarang masuk wilayah Pasar Ikan,
Jakarta,
Fatahilah kemudian membangun istana dengan tembok tinggi di sisi barat
Kali Besar (terusan sungai di sebelah barat Ciliwung), masyarakat muslim
Betawi yang rumahnya berada didekat istananya diusir dan rumahnya
dibumihanguskan, Sunda kelapa akhirnya dapat dikuasai sepenuhnya pada 22 Juni 1527.
Keterlambatan bantuan Portugis
Pada pertempuran antara
kerajaan Sunda
dengan gabungan prajurit Banten, Cirebon dan Demak di Sunda Kelapa yang
berakhir dengan tewasnya Wak Item (Syahbandar Sunda Kelapa) bersama dua
puluh anggotanya serta sebagian penduduk Sunda Kelapa salah satunya
disebabkan karena keterlambatan bantuan dari Portugis, Francisco de Xa
yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur
Goa sebuah koloni Portugis di
India. Keberangkatan ke
kerajaan Sunda
dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun (kapal perang) yang
dinaiki Francisco De Xa dan berisi peralatan untuk membangun benteng
terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai dan karam di Teluk
Benggala, tepatnya di Ceylon (Srilanka). Francisco De Xa tiba di Malaka
tahun 1527.
Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai oleh
Maulana Hasanuddin,
perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane,
Francisco De Xa memancangkan Padrão pada tanggal 30 Juni 1527 dan
memberikan nama kepada Cisadane "Rio de São Jorge" (dibaca : Rio de Saun
Horhe) yang berarti sungai Santo Jorge. Kemudian galiun Francisco De Xa
memisahkan diri, hanya kapal
brigantin yang dipimpin oleh Duarte
Coelho yang langsung berangkat ke Pelabuhan Sunda Kalapa. Duarte Coelho
terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat
ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fatahilah, dengan
kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil
meloloskan diri ke Pasai.
Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan
balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Duarte
Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu di ubah menuju
Pedu di wilayah
Pantai Emas Portugal yang merupakan koloni Portugis di
Afrika yang sekarang menjadi bagian dari negara
Ghana.
Dikuasainya Rajagaluh pada 1528
Perseteruan
antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan Rajagaluh bermula dari
permintaan kerajaan Rajagaluh yang mengharuskan kesultanan Cirebon
mengakui kerajaan Rajagaluh sebagai pusatnya yang secara langsung
menjadikan kesultanan Cirebon sebagai negara bagian dari kerajaan
Rajagaluh.
Duta pertama yang tercatat dikirimkan oleh prabu Cakraningrat (raja Rajagaluh) adalah
depati (bahasa Indonesia : gubernur) Kiban atau pada masyaraakat Cirebon dikenal dengan nama Arya Kiban (
depati palimanan), rombongan pimpinan
depati
Kiban berulang kali berusaha memasuki wilayah kota Cirebon namun selalu
ditolak dan hanya beberapa yang diizinkan untuk memasuki kota Cirebon,
mereka yang memasuki kota Cirebon kemudian memeluk agama Islam
Pada masa awal perseteruan antara kesultanan Cirebon dengan kerajaan Rajagaluh, wilayah Palimanan (sekarang terdiri dari
Ciwaringin,
Gempol,
Palimanan serta sebagian dari
Dukupuntang yang dahulu disebut sebagai kedondong), merupakan wilayah kerajaan Rajagaluh yang wilayahnya paling dekat dengan pantai.
Duta kedua yang dikirim prabu Cakraningrat adalah
demang Dipasara yang membawa pesan agar kesultanan Cirebon mengakui kerajaan Rajagaluh sebagai pusatnya.
demang Dipasara tidak berhasil memasuki kota Cirebon dikarenakan rombongannya bertemu dengan pangeran
depati Kuningan (putra
Ki gede Luragung yang diangkat anak oleh
Sunan Gunung Jati ) dan pasukannya yang memintanya kembali ke Rajagaluh dengan membawa pesan agar Rajagaluh tunduk kepada kesultanan Cirebon.
Pangeran Depati Kuningan kemudian memberitahu peristiwa pertemuannya dengan
Demang Dipasara kepada
Sunan Gunung Jati sekaligus memohon izin untuk menyerang kerajaan Rajagaluh, sebelum menyerang, Pangeran Depati Kuningan membuat pertahanan di
Plered sekaligus mengirimkan duta yaitu
Ki Demang
Singagati dengan membawa pesan kepada prabu Cakraningrat agar prabu dan
rakyatnya memeluk Islam dan menggabungkan diri dengan kesultanan
Cirebon namun pesan tersebut ditolak prabu Cakraningrat.
Perang Palimanan
Perang Palimanan terjadi tidak lama setelah kepulangan
Ki Demang
Singagati yang membawa pesan penolakan dari prabu Cakraningrat.
Prajurit kesultanan Cirebon pada mulanya dipimpin langsung oleh Pangeran
Depati Kuningan sementara kerajaan Rajagaluh berada dibawah
Depati Kiban (penguasa Palimanan).
Prajurit dari kedua kerajaan kemudian mendapatkan bantuan kekuatan, prajurit
Depati Kiban mendapat bantuan dari pasukan induk kerajaan Rajagaluh dibawah pimpinan Sanghyang Gempol sementara prajurit Pangeran
Depati Kuningan mendapat bantuan dari pasukan induk kesultanan Cirebon ditambah 700 orang pasukan
kesultanan Demak
yang pada saat itu sedang berada di kesultanan Cirebon untuk keperluan
pengawalan Sultan Demak yang pada saat itu sedang berada di Cirebon
Pada perang Palimanan,
Depati Kiban dan Sanghyang Gempol dapat
dikalahkan, pasukan kesultanan Cirebon kemudian bergerak menuju ibukota
Rajagaluh dan mengepung istana kerajaan Rajagaluh.
Perang akhirnya dapat dimenangkan oleh kesultanan Cirebon dan
kerajaan Rajagaluh digabungkan wilayahnya dengan kesultanan Cirebon,
sementara para pemimpin kerajaan Rajagaluh dibiarkan lari.
Pembagian wilayah taklukan antara kesultanan Banten dengan kesultanan Cirebon
Setelah
Kerajaan Sunda runtuh maka wilayah antara sungai Angke dan sungai Cipunegara terbagi dua. Menurut
Carita Sajarah Banten,
Sunan Gunung Jati pada abad ke 15
membagi wilayah antara sungai Angke dan sungai Cipunegara menjadi dua
bagian dengan sungai Citarum sebagai pembatasnya, sebelah timur sungai
Citarum hingga sungai Cipunegara masuk wilayah
Kesultanan Cirebon yang sekarang menjadi Kabupaten Karawang,
Kabupaten Purwakarta dan
Kabupaten Subang dan sebelah barat sungai Citarum hingga sungai Angke menjadi wilayah bawahan
Kesultanan Banten dengan nama
Jayakarta..
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan
pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat
keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah,
pemerintahan dijabat oleh
Fatahillah
atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah
Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki
takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal
dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan
dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem
Astana Gunung Sembung.
Panembahan Ratu I (1568-1649)
Sepeninggal
Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja,
takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Mas,
putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati.
Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon
selama kurang lebih 81 tahun.
Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin ini dikatakan bahwa
keraton Mataram mulai dibangun disekitar kali Opak dan kali Progo pada
tahun 1578 oleh Ki Ageng Pamanahan, namun beberapa tahun kemudian dia
wafat, tepatnya pada tahun 1584 sehingga kepemimpinan di keratonnya
dilanjutkan oleh puteranya yang bernama
Danang Sutawijaya, beberapa tahun setelah meninggalnya Ki Ageng Pamanahan, Sultan Hadiwijaya dari kerajaan
Pajang (sekarang wilayahnya diperkirakan meliputi wilayah kekuasaan
Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegara) pun meninggal, tepatnya pada tahun 1587, pada saat meninggalnya Sultan
Pajang,
Danang Sutawijaya yang selama ini tidak suka menghadap Sultan Pajang akhirnya datang juga untuk menghadiri upacara pemakaman Sultan. Pada masa pemerintahannya,
Danang Sutawijaya melakukan perluasan wilayahnya ;
- Pajang dijadikan kadipaten, dan Pangeran Benawa (putera dari Sultan Hadiwijaya) dijadikan sebagai pemimpin Kadipaten Pajang
- Demak berhasil dikuasai dan kemudian dia menempatkan seseorang dari wilayah Yuwana
- Kedu dan Bagelen (sebelah barat pegunungan menoreh) juga berhasil dikuasai
- Madiun mengakui kekuasaan Mataram pada tahun 1590
- Surabaya berhasil dikuasai
- Kediri berhasil dikuasai
- Priyangan sebelah timur berhasil dikuasai
Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin, kesultanan Cirebon berhasil mempertahankan hubungan baik antara
kesultanan Banten dengan
kesultanan Mataram, hal itu disebabkan adanya hubungan keluarga antara
kesultanan Banten dengan kesultanan Cirebon yang masih sama-sama keturunan
sunan Gunung Jati dan
Sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari Mataram yang sangat menghormati Pangeran Mas sebagai gurunya, pada masa itu
Sultan Agung Hanyaraka Kusuma dikatakan sebagai salah satu murid kesayangan Pangeran Mas
Persahabatan dengan Mataram dan dibangunnya Benteng Kuta Cirebon
Pada masa perluasan dan penaklukan wilayah yang dilakukan kerajaan
Mataram oleh
Danang Sutawijaya,
Mataram juga menjalin kedekatan dengan kesultanan Cirebon, namun
hubungan yang dimaksud bukan dihasilkan dari sebuah penaklukan melainkan
dari persahabatan.
Benteng Kuta Raja Cirebon yang dalam Naskah Kacirebonan disebut sebagai
Benteng Seroja diyakini pembangunannya mendapatkan bantuan dari
Danang Sutawijaya Raja
Mataram.
“ |
Waktu
semono maksi akikib, Kuta Cirebon masih Sinaroja, Adi wuku sakubenge,
Tan ana Durga ngaru, Kadi gelare kang rumihin, Jawa gunung kapurba,
Katitiha ngulun, Sira koli tiwa-tiwa, Nagara gung Mataram pon anglilani,
Ing Crebon yen gawea
Taktkala itu masih tertutup, Kuta Cirebon masih utuh dibangun pagar
sekelilingnya, benteng itu tidak ada yang mengganggu, seperti jaman
dahulu kala pulau Jawa yang dibentengi oleh gunung-gunung, demikian juga
dengan Cirebon, maka negara agung Mataram pun merestui (membantu) proyek yang sedang dikerjakan Cirebon (membuat benteng Kuta Cirebon)
|
” |
Benteng Kuta Raja Cirebon diperkirakan telah dibangun sebelum tahun
1596, dikarenakan benteng tersebut diceritakan pada pelayaran pertama
bangsa Belanda pada tahun 1596
dan tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan yang
sebenarnya adalah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon
pada tahun 1681 benteng tersebut masih dapat dikenali.
Panembahan Ratu II (1649-1666)
Setelah
Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan
Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi
atau Pangeran Abdul Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran
Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu.
Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni
Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan
Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua
kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram.
Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram
(Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak
merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri,
karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah
sama-sama keturunan sunan Gunung Jati.
Pada surat perwakilan Belanda di Cirebon 1 Oktober 1684 (tiga tahun
setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan Cirebon dengan Belanda
tahun 1681) diceritakan tentang peristiwa Girilaya, pada tahun 1649
pangeran Girilaya naik tahta menjadi penguasa Cirebon, tidak lama
setelah penobatannya, sekitar tahun 1650-an
Amangkurat I
dari Mataram mengundangnya beserta kedua putera tertuanya yaitu
Martawijaya dan Kartawijaya untuk berkunjung ke keraton Mataram di
kota Gede
sekaligus menghormati naiknya Girilaya sebagai penguasa baru kesultanan
Cirebon. Selepas acara penghormatan selesai, beliau bersama kedua
puteranya dilarang kembali ke Cirebon dan tinggal di lingkungan Mataram
selama 12 tahun hingga kematiannya. Kebijakan tersebut merupakan kebijakan politik
Amangkurat I
terhadap para penguasa pesisir, hal yang sama juga dialami oleh
pangeran Prasena, anak dari pangeran Tengah penguasa kerajaan Arosbaya
(Bangkalan) di Madura, pada tahun 1624, empat tahun setelah pangeran
Tengah meninggal dunia pada 1620, Mataram menyerang kerajaan Arosbaya,
wali raja pada saat itu pangeran Mas dari Arosbaya (adik dari pangeran
Tengah sekaligus paman bagi pangeran Prasena yang pada saat itu masih
kecil) berhasil melarikan diri ke Demak sementara pangeran Prasena
berhasil dibawa ke Mataram dan diangkat menjadi adipati Cakraningrat
penguasa Madura bagian barat,
namun selama menjadi adipati, pangeran Prasena menghabiskan waktunya di
Mataram mirip seperti kejadian yang menimpa pangeran Abdul Karim atau
dikenal dengan nama pangeran Girilaya.
Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja
raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di
Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar
dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
Perwalian oleh Pengeran Wangsakerta
Pada
saat Pangeran Girilaya dan kedua anak tertuanya yaitu Martawijaya dan
Kartawijaya diundang ke Mataram untuk menerima upacara penghormatan atas
naiknya Pangeran Girilaya menjadi penguasa Cirebon namun ternyata tidak
kunjung kembali, kesultanan Cirebon mengalami perguncangan karena tidak
adanya pemimpin di kesultanan Cirebon. Pada masa tersebut untuk
menghindari kesultanan Cirebon dari kekacauan dikarenakan di keraton
Cirebon Pangeran Girilaya masih memiliki keturunan dari istri-istrinya
yang lain seperti Pangeran Ketimang dan Pangeran Giyanti (anak Pangeran
Girilaya dari istrinya yang merupakan keturunan bangsawan Cirebon) dan
Bagus Jaka (anak Pangeran Girilaya dengan istrinya yang merupakan rakyat
biasa), maka
Sultan Ageng Tirtayasa
dari kesultanan Banten menunjuk pangeran Wangsakerta (adik pangeran
Martawijaya dan Kartawijaya) untuk menjadi wali sultan sampai ayahnya
kembali. keluarga akhirnya menyetujui pangeran Wangsakerta menjadi
Wali sampai kembalinya ayahnya pangeran Girilaya dari Mataram.
Lepasnya Rangkas Sumedang kepada Belanda
Sepeninggal
sultan Agung Hanyaraka Kusuma
dari Mataram, penerusnya yaitu Amangkurat I bersikap lebih lunak kepada
Belanda, perjianjian antara keduanya untuk saling membantupun
dilakukan, pada masa pemberontakan Trunojoyo, Mataram meminta bantuan
Belanda untuk memadamkannya, Belanda yang diwakili Admiral Speelman
(yang dikemudian hari menjadi
Gubernur Jendral Cornelis Speelman)
melalui Syahbandar Jepara yaitu Wangsadipa mengajukan syarat yaitu
perluasan wilayah kekuasaan Belanda hingga sungai Cipunegara (di bagian
utara) terus menyusuri ke selatan hingga bertemu laut. Syarat tersebut
dibawa oleh residen James Cooper pada tanggal 4 Maret 1677 dan diterima
oleh sultan Mataram,
Amangkurat I
dan puteranya (beberapa bulan sebelum Trunojoyo merebut ibukota Mataram
tanggal 28 Juni 1677 dan membebaskan putra-putra pangeran Girilaya yang
ditahan oleh Mataram yaitu Martawijaya dan Kartawijaya)
Syarat tersebut kemudian disetujui oleh Amangkurat I walau wilayah
yang diminta sebagiannya adalah milik kesultanan Cirebon yaitu wilayah
Rangkas Sumedang (wilayah antara sungai Citarum dan Cibeet hingga sungai
Cipunegara yang sekarang menjadi
kabupaten Karawang,
kabupaten Purwakarta dan
kabupaten Subang), para pangeran Cirebon ditahan sebagai garansi Cirebon mau melepaskan wilayah pesisir bagian baratnya untuk Belanda.
Pangeran Wangsakerta yang berada di Cirebon dan menjadi wali setelah
ayahnya (pangeran Girilaya) tidak kunjung kembali dari Mataram akibat
ditahan oleh
Amangkurat I kemudian meminta bantuan
kesultanan Banten,
sultan Ageng Tirtayasa
kemudian mengirimkan bantuan persenjataan kepada Trunojoyo dengan
memintanya untuk membebaskan para pangeran Cirebon yang ditahan oleh
Mataram, ketika Trunojoyo berhasil merebut keraton mataram, orang-orang
yang ada didalamnya kemudian ditawan dan dibawa ke Kediri,
awalnya Tronojoyo tidak mengetahui bahwa para pangeran Cirebon ada
diantara para tahanan yang dibawa ke Kediri, setelah memeriksa para
tahanan yang berasal dari Mataram dan menemukan para pangeran Cirebon,
Trunojoyo kemudian membebaskan mereka dengan hormat dan mengirimnya ke
kesultanan Banten
Posisi Cirebon yang sedang lemah pada saat itu ditambah dengan
kosongnya kursi sultan dan hanya diisi oleh seorang wali sultan saja
membuat kesultanan Cirebon belum bisa merebut kembali wilayah Rangkas
Sumedang (masyarakat sekarang lebih mengenalnya dengan nama "tanah
Krawang") yang direbut Belanda secara ilegal dan paksa dengan bantuan
Amangkurat I dari Mataram, sehingga ketika kedua pangeran Cirebon kembali dari Banten dan mewarisi kesultanan Cirebon dengan nama
Kasepuhan dan
Kanoman
mereka mewarisi wilayahnya yang telah dikurangi wilayah Rangkas
Sumedang yang diambil paksa tersebut, sehingga wilayah kekuasaan
kesultanan Cirebon paling barat ialah wilayah
Kandang Haur dan sekitarnya hingga batas sungai Cipunegara.
Pembagian Kesultanan Cirebon
Pembagian
terhadap kesultanan Cirebon secara resmi terjadi pada tahun 1679 saat
Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya dinobatkan menjadi sultan di
keraton Pakungwati, kesultanan Cirebon, sebelum kedua pangeran kembali
ke Cirebon setelah diselamatkan oleh Tronojoyo dari Mataram dengan
bantuan persenjataan dari kesultanan Banten pada tahun 1677,
Sultan Ageng Tirtayasa
dari Banten terpaksa membagi kesultanan Cirebon menjadi dua kesultanan
dan satu peguron dikarenakan untuk menghindari perpecahan keluarga
kesultanan Cirebon karena adanya perbedaan pendapat dikalangan keluarga
besar mengenai penerus kesultanan Cirebon, pendapat keluarga besar
terbelah dan mendukung ketiganya (Martawijaya, Kartawijaya dan
Wangsakerta) untuk menjadi penguasa, maka
Sultan Ageng Tirtayasa menobatkan ketiganya menjadi penguasa Cirebon di Banten di tahun yang sama setelah mereka tiba di
kesultanan Banten
dari Mataram yaitu pada tahun 1677, dua orang menjadi sultan dan
memiliki wilayahnya masing-masing yaitu Pangeran Martawijaya dan
Kartawijaya sementara satu orang yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi
Panembahan tanpa wilayah kekuasaan namun memegang kekuasaan atas
kepustakaan kraton
Hal tersebut merupakan babak baru bagi kesultanan Cirebon, di mana
kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan
menurunkan para penguasa berikutnya, berikut gelar ketiganya setelah
resmi dinobatkan :
- Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697)
- Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723)
- Panembahan Cirebon, Pangeran Wangsakerta dengan gelar Pangeran Abdul
Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua
Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena
keduanya dilantik menjadi
Sultan
Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah
kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta
tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak
memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri
sebagai Kaprabon(Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton.
Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah
kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut
campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari
keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya.
Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, di mana kekuasaan
pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan
disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100
Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan
Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi
2.450 hektare.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan
Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin
oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.
Perkembangan terakhir
Setelah
masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan
pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian
keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan
masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan
Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat
dan telah beberapa kali ambil bagian dalam
Festival Keraton Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang
paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529,
sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622.
Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton
Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang
Muhammad Saladin, untuk pengangkatan takhta Sultan Kanoman XII.
Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di
kalangan kerabat keraton tersebut.
sekian yang dapat saya postingkan semoga bermanfaat. bila ada salah kata/ ketik saya minta maaf. untuk kritik dan saran silahkan berkomentar. sekian dari saya wassalamualaikum Wr.Wb
Related Posts: