Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan
Islam yang pernah berdiri di Tatar Pasundan,
Provinsi Banten,
Indonesia. Berawal sekitar tahun
1526, ketika
kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat
Pulau Jawa,
dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya
sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan sebagai antisipasi
terealisasinya
perjanjian antara
kerajaan Sunda dan
Portugis tahun 1522 m.
Maulana Hasanuddin, putera
Sunan Gunung Jati
berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut,
Maulana Hasanuddin mengembangkan benteng pertahanan yang dinamakan
Surosowan
(dibangun 1522 m) menjadi kawasan kota pesisir yang kemudian hari
menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang
berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai
kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa
telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan
persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun
perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan
hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan
Banten akhir runtuh pada tahun
1813
setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota
Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan
Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di
Hindia Belanda.
Pembentukan awal
De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François Valentijn, Amsterdam, 1726
Palangka Sriman Sriwacana
"Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri
Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri
Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu
Dewata."
Artinya:
"Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri
Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di
keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana
Sanghiyang Sri Ratu Dewata."
Mahkota Binokasih, Mahkota
Kerajaan Pajajaran yang diserahkan kepada
Prabu Geusan Ulun disimpan di
Museum Prabu Geusan Ulun oleh para
Kandaga Lante Kerajaan Pajajaran sebagai legitimasi untuk meneruskan trah Siliwangi ketika runtuh pada 1579 M yang dimulai dari pendudukan
Sunda Kalapa
hingga penyerangan Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima
Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu
Dewata
Syiar Islam ke Banten dan pendirian kesultanan Banten
Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (
Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai
Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti
jihad
(perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun
juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik
hati masyarakat
Wahanten dan
pucuk umum (penguasa)
Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah
Wahanten terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi
pucuk umum (penguasa) untuk wilayah
Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi
pucuk umum untuk wilayah
Wahanten Girang.
Di wilayah
Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan
Nyai Kawung anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian
menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477
m) dan Pangeran
Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin : nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 m.
Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.
Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk
menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479
setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban yang menghasilkan
keputusan menjadikan
Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.
Latar belakang penguasaan Banten
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir)dengan Ratu Ayu (putri
Sunan Gunung Jati)
terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut,
Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon, kelak
Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan Demak pada 1518.
Persekutuan
kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak ini sangat mencemaskan Jaya dewata (
Siliwangi)
di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa
menghubungi Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang
ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan
Samudera Pasai.
Pada tahun 1513 m,
Tome Pires pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan
Banten
Syarif Hidayatullah mengajak putranya
Maulana Hasanuddin untuk berangkat ke
Mekah, sekembalinya dari
Mekah Syarif Hidayatullah dan puteranya yaitu
Maulana Hasanuddin
kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan, ramah serta suka membantu
masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari mereka memeluk dan
taat menjalankan agama Islam, dari aktifitas dakwah ini di wilayah
Banten, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama
Syekh Nurullah (Syekh yang membawa cahaya Allah swt), aktifitas dakwah kemudian dilanjutkan oleh
Maulana Hasanuddin hingga ke pedalaman
Wahanten seperti gunung Pulosari di
kabupaten Pandeglang dimana ia pernah tinggal selama sekitar 10 tahun untuk berdakwah kepada para
ajar (pendeta), gunung Karang, gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan
dengan pola syiar yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan ayahnya.
Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu
Siliwangi) mulai membatasi pedagang muslim yang akan singah di pelabuhan-pelabuhan
kerajaan Sunda
hal ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Islam yang akan diterima
oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak perdagangan dengan
para pedagang muslim, namun upaya tersebut kurang mendatangkan hasil
yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat
dibandingkan upaya pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan pengaruh
Islam mulai memasuki daerah pedalaman
kerajaan Sunda. Pada tahun itu juga
kerajaan Sunda berusaha mencari mitra koalisi dengan negara yang dipandang memiliki kepentingan yang sama dengan
kerajaan Sunda, Jaya dewata (
Siliwangi) memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan dapat mengimbangi kekuatan pasukan
kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon.
Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya dewata (
Siliwangi) mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu
Samiam (Surawisesa), mereka berusaha meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan antara
kerajaan Sunda dan
Portugis.
Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk melakukan
perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik
kerajaan Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila kerajaan Sunda diserang oleh
kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon dengan memberi hak kepada Portugis untuk membangun benteng.
Pada tahun 1522 Gubernur
Alfonso d'Albuquerque
yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri
undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai
Raja Samiam) untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif
Pada tanggal
21 Agustus 1522
dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan
membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di
Sunda Kelapa
dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang
diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang
Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu
peringatan atau
padraõ (dibaca : Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu.
Padrão dimaksud disebut dalam cerita masyarakat
Sunda sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat
Mundinglaya Dikusumah, dari pihak
kerajaan Sunda perjanjian ditandatangani oleh
Padam Tumungo (yang terhormat Tumenggung),
Samgydepaty (Sang Depati),
e outre Benegar (dan bendahara)
e easy o xabandar (dan Syahbandar) Syahbandar
Sunda Kelapa yang menandatangani bernama Wak Item dari kalangan muslim
Betawi, dia menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.
Pada tahun 1522,,
Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama keraton
Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar,
masjid agung serta masjid di kawasan Pacitan.Sementara yang menjadi
pucuk umum (penguasa) di
Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman dari
Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 m. Arya Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan
Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 m.
Pada tahun 1524 m,
Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak mendarat di pelabuhan
Banten Pada masa ini tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa
Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan pasukan gabungan
Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut
Wahanten Girang
Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan
kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak mencapai
Wahanten Girang,
Ki Jongjo (seorang kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada
Maulana Hasanuddin
Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan bahwa
pucuk umum (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan banyaknya aktifitas dakwah
Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman
Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan
Wahanten Girang, sehingga
pucuk umum Arya Suranggana meminta
Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktifitas dakwahnya dan menantangnya
sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika
sabung ayam dimenangkan Arya Suranggana maka
Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktifitas dakwahnya.
Sabung Ayam pun dimenangkan oleh
Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan aktifitas dakwahnya Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.
Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai
pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di
penghujung abad ke-17.
Atas petunjuk ayahnya yaitu
Sunan Gunung Jati,
Maulana Hasanuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahan
Wahanten Girang ke pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun kota pesisir
Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526. Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya
pucuk umum (penguasa)
Wahanten Pasisir dengan sukarela menyerahkan kekuasannya atas wilayah
Wahanten Pasisir kepada
Sunan Gunung Jati, akhirnya kedua wilayah
Wahanten Girang dan
Wahanten Pasisir disatukan menjadi
Wahanten yang kemudian disebut sebagai
Banten dengan status sebagai
kadipaten dari
kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 m), kemudian
Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah
Banten diserahkan kepada
Maulana Hasanuddin, dari kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa
Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di Banten meskipun demikian
Sunan Gunung Jati tidak mentasbihkan dirinya menjadi penguasa (sultan) di Banten
Alasan-alasan demikianlah yang membuat pakar sejarah seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa
Sunan Gunung Jatilah yang menjadi pendiri
Banten dan bukannya
Maulana Hasanuddin.
menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak
Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam,
Banten lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.
Pada tahun 1552,
Maulana Hasanuddin diangkat menjadi sultan di wilayah Banten oleh ayahnya Syarif Hidayatullah (
Sunan Gunung Jati)
Banten sebagai kesultanan
Kesultanan Banten menjadk kesultanan yang mandiri pads tahun 1552 setelah
Maulana Hasanuddin ditasbihkan oleh ayahnya yaitu
Sunan Gunung Jati sebagai Sultan di Banten.
Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di
Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja
Malangkabu (Minangkabau,
Kerajaan Inderapura),
Sultan Munawar Syah dan dianugerahi
keris oleh raja tersebut.
Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan
Pakuan Pajajaran tahun
1579. Kemudian ia digantikan anaknya
Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai
Palembang tahun
1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di
nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.
Pada masa
Pangeran Ratu anak dari
Maulana Muhammad, ia menjadi
raja pertama di
Pulau Jawa yang mengambil gelar "
Sultan" pada tahun
1638 dengan nama
Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir.
Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan
hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah
satu diketahui surat Sultan Banten kepada
Raja Inggris,
James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada
Charles I.
Puncak kejayaan
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan
perdagangan dalam menopang perekonomiannya.
Monopoli atas perdagangan
lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai
pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang
Inggris,
Denmark dan
Tionghoa, Banten berdagang dengan
Persia,
India,
Siam,
Vietnam,
Filipina,
Cina dan
Jepang.
Masa
Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh
Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke
Sukadana atau
Kerajaan Tanjungpura (
Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun
1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan
blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
Perang saudara
Sekitar
tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat
perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya
Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh
Vereenigde Oostindische Compagnie
(VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang
saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya,
Sultan Haji atau
Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui
Raja Inggris di London tahun
1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan. Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan
Tirtayasa, namun pada
28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain
Pangeran Purbaya dan
Syekh Yusuf dari
Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada
14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut
Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh
Yusuf. Pada
5 Mei 1683, VOC mengirim
Untung Surapati yang berpangkat
letnan beserta pasukan
Balinya,
bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel
menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada
14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.
Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan
menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan
Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa
Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang
dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara
mereka, puncaknya pada
28 Januari 1684,
pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati
beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya
sendiri baru pada
7 Februari 1684 sampai di Batavia.
Penurunan
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada
12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada
VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di
Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal
22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung. Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal
17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.
Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan
pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan
Banten mesti mendapat persetujuan dari
Gubernur Jendral Hindia Belanda di
Batavia.
Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya
diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga
tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan
gelar
Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar
Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan
ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan
penguasa Banten
maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC
dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir
pemerintahan
Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin,
di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik
yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam
meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak
1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.
Penghapusan kesultanan
Reruntuhan Kraton Sultan pada tahun 1859 (gambar oleh C. Buddingh dari Geschiedenis van Nederlandsch Indië atau "Sejarah Hindia Belanda")
Reruntuhan Kraton Kaibon, bekas istana kediaman Ibu Suri Sultan Banten, pada tahun 1933
Pada tahun 1808
Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan
Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke
Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di
Ujung Kulon.
Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels
memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan.
Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan
kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk.
Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke
Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di
Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah
Hindia Belanda.
Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun
1813 oleh pemerintah kolonial
Inggris. Pada tahun itu,
Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh
Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
Agama
Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan
Hindu-
Budha, seperti
Tarumanagara,
Sriwijaya dan
Kerajaan Sunda.
Dalam
Babad Banten menceritakan bagaimana
Sunan Gunung Jati bersama
Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran agama
Islam secara intensif kepada penguasa
Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa
Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.
Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada
Nabi Muhammad, dan menempatkan para
ulama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu
tarekat maupun
tasawuf
juga berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam
sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada
dipengaruhi oleh perkembangan Islam di masyarakat, seperti terlihat pada
kesenian bela diri
Debus.
Kadi
memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain
bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama,
juga dalam penegakan
hukum Islam seperti
hudud.
Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh
muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun
1673 telah berdiri beberapa
klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.
Kependudukan
Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis. Mulai dari
Jawa,
Sunda dan
Melayu. Sementara kelompok etnis
nusantara lain dengan jumlah signifikan antara lain
Makasar,
Bugis dan
Bali.
Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten
diperkirakan terdapat antara 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang
siap untuk berperang, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat
direkrut sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari
sumber yang paling dapat diandalkan, pada
Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari
sensus yang dilakukan VOC pada tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan
tombak atau
senapan
berjumlah sekita 55 000 orang. Jika keseluruhan penduduk dihitung, apa
pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150 000
penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.
Sekitar tahun 1676 ribuan masyarakat
Cina mencari
suaka dan bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini akibat berkecamuknya perang di
Fujian
serta pada kawasan Cina Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya
membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai dan sungai serta memiliki
proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan masyarakat
India dan
Arab. Sementara di Banten beberapa kelompok masyarakat Eropa seperti
Inggris,
Belanda,
Perancis,
Denmark dan
Portugal juga telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.
Perekonomian
Dalam meletakan dasar pembangunan
ekonomi Banten, selain di bidang
perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan
sawah mulai diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti
Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan
perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah
sanghyang siksakanda ng karesian yang menceritakan adanya istilah
pahuma (peladang),
panggerek (
pemburu) dan
panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti
kujang,
patik,
baliung,
kored dan
sadap.
Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk mengembangkan
pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang
kanal tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektare sawah baru dan ribuan hektare perkebunan
kelapa ditanam. 30 000-an
petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang
Bugis dan
Makasar.
Perkebunan tebu, yang didatangkan
saudagar Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.
Tak dapat dimungkiri sampai pada tahun
1678, Banten telah menjadi kota
metropolitan,
dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten
sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.
Pemerintahan
Bendera Kesultanan Banten, versi pelat Jepang tahun 1876.
Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar
Sultan, sementara dalam lingkaran
istana terdapat gelar
Pangeran Ratu,
Pangeran Adipati,
Pangeran Gusti, dan
Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar
Mangkubumi,
Kadi,
Patih serta
Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada masyarakat Banten terdapat kelompok
bangsawan yang digelari dengan
tubagus (Ratu Bagus),
ratu atau
sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas kaum
ulama,
pamong praja, serta kaum
jawara.
Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah
sungai yaitu
Ci Banten dan
Ci Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan
pasar,
alun-alun dan
Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah utara dari istana dibangun
Masjid Agung Banten dengan menara berbentuk
mercusuar yang kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di Banten.
Berdasarkan
Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama
Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun terdapat
paseban
yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk menyampaikan
maklumat kepada rakyatnya. Secara keseluruhan rancangan kota Banten
berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh konsep Hindu-Budha atau
representasi yang dikenal dengan nama
mandala. Selain itu pada kawasan
kota terdapat beberapa
kampung yang mewakili
etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.
Kesultanan Banten telah menerapkan
cukai atas kapal-kapal yang singah ke Banten, pemungutan cukai ini dilakukan oleh
Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan
Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama
Syahbandar Kaytsu.
Warisan sejarah
Setelah dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada masa pemerintahan
Hindia Belanda, tahun 1817 Banten dijadikan
keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari
Provinsi Jawa Barat.
Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan masyarakatnya
untuk menjadikan kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi,
reformasi pemerintahan
Indonesia berperan mendorong kawasan Banten sebagai
provinsi
tersendiri yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2000. Selain itu masyarakat Banten telah menjadi satu kumpulan
etnik tersendiri yang diwarnai oleh perpaduan antar-etnis yang pernah
ada pada masa kejayaan Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah
menjadikan masyarakat Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di
Nusantara.
Related Posts: